Seiring dengan menguatnya kesadaran global akan arti penting HAM, persoalan tentang universalitas HAM dan hubungannya dengan berbagai sistem nilai atau tradisi agama terus menjadi pusat perhatian dan perbincangan dalam wacana HAM kontemporer. Disatu sisi, secara normatif agama memberikan landasan yan sangat kuat bahwa setiap manusia mempunyai hak-hak yang tak tersangkal (inealieble) dan setara, yang mana kesetaraan ini berakar dari konsep agama yang menyatakan bahwa semua manusia berasal dari sumber yang sama. Namun disisi lain, terdapat banyak bukti yang justru menunjukkan adanya pelanggaran HAM yang melegitimasi agama, seperti perbudakan, kekerasan, diskriminasi, dan berbagai bentuk pelanggaran lainnya.
Tanpa
mengabaikan ramainya perbincangan tentang hubungan antara agama-agama lain
dengan HAM, dapat dikatakan bahwa persoalan tentang hubungan Islam dan HAM
tampaknya menjadi topik utama dalam
masalah Internasional. Seperti yang dapat kita lihat pada konflik yang
terjadi di Myanmar semenjak tanggal 10 s/d 28 Juni 2012 lalu, sedikitnya 650 warga etnis
Rohingya tewas, sekitar 1200 warganya dinyatakan hilang dan 50 ribu warganya
kehilangan tempat tingal (repubika.co.id). Konflik yang terjadi di Myanmar ini merupakan
salah satu bentuk kejahatan manusia karena perbuatan ini dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya
bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil
(Statuta Roma pasal 7).
Realitas ini juga menunjukan bahwa pembantaian Muslim
Rohingya bukan hanya bentuk kejahatan manusia yang tergolong ringan, namun
sudah mengarah pada genosida. Istilah genosida dalam hukum internasional
mengacu pada kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang, terkait dengan tragedi
perang dunia II. Pelanggaran tersebut kemudian
melahirkan peradilan ad hoc Internasional tahun 1946 di Nurember, yang
menetapkan bahwa tentara-tentara Nazi dan Adolf Hitler harus dikenai sanksi
hukum. Implikasi hukum dari adanya peradilan ini adalah penetapan peradilan
bagi individu yang terlibat dalam kejahatan kemanusiaan, bukan hanya negara
yang bersangkutan.
Secara yuridis, genosida didefinisikan sebagai suatu
tindakan yang dimaksudkan untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian kelompok bangsa, etnis, atau agama yang tertuang dalam Konvensi
tentang Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan Genosida (Convention on the Prevention and Punishment
of the Crime of Genocide) pafa tahun 1948.Menurut hukum tersebut, kejahatan
genosida mencakup lima hal penting yaitu :
·
Membunuh
anggota suatu kelompok
·
Mengakibatkan
penderitaan fisik atau mental berat terhadap anggota suatu kelompok
·
Menciptakan
keadaan kehidupan yang bertujuan untuk memusnahkan secara fisik, baik seluruh
maupun sebagian anggota dari suatu kelompok
·
Memaksakan
cara-cara yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok tersebut
·
Memindahkan
secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Konflik yang terjadi di Myanmar ini disebabkan oleh adanya politik
Xenofobia yang diterapkan Pemerintah Myanmar pasca jatuhnya Un Nu yang
digantikan Jendra Ne Win 1962. Arti dari kata Xenofobia yang berasal dari
bahasa Yuniani ini adalah suatu ketakutan yang tidak wajar terhadap orang asing
atau dengan segala sesuatu yang asing. Politik Xenofobia yang diterapkan oleh Pemerintah Myanmar ini tidak mengakui
keberadaan Muslim Rohingya bagian dari warga negara Myanmar, sehingga selama 50
tahun Muslim Rohingya mengalami serangkaian pembantaian, pembakaran,
penjarahan, pembatasan kelahiran, dan penangkapan yang berangsung secara massif
menyebabkan eksodus besar-besaran setiap tahunnya. Ironisnya, pemerintah
Myanmar cenderung melakukan pembiaran dan reaksi masyarakat internasional yang
menganggap bahwa Muslim Rohingya merupakan masalah dalam negeri Myanmar,
menyebabkan lembaga-lembaga internasional seperti: PBB dan ASEAN tidak mampu
menghentikan diskriminasi yang dialami Muslim Rohingya.
Sementara itu pertemuan yang diadakan oleh Menteri Luar
Negeri Amerika Serikat dengan Presiden Myanmar untuk membicarakan reformasi
politikpun tidak menyentuh warga Musim Rohingya yang selama ini mengalami
diskriminasi oleh Pemerintah Myanmar. Reaksi masyarakat internasional terhadap
genosida pada Muslim Rohingyapun sangat lambat bahkan cendrung terjadi
pembiaran. Dimana, lembaga-lembaga internasional dan negara-negara yang selama
ini mengagung-agungkan HAM dalam hubungan luar negerinya tidak memberikan
tekanan politik dan ekonomi kepada Pemerintah Myanmar yang memiliki otoritas
tertingi dalam melindungi warga negaranya. Sehingga, pembantaian terhadap
Muslim Rohingya terus menerus berlangsung selama bertahun-tahun.
Menurut Malian, Sohirin, et
all (2003 : 85-88) diskriminasi yang dialami Muslim Rohingya serta
sengitnya perbincangan dan kontroversi dalam persoalan hubungan Islam dan HAM tidak
terlepas dari konotasi HAM dan makna kongkretnya dalam Deklarasi HAM PBB,
diakui atau tidak didasarkan pada asumsi yang mengarah pada paham sekularisme.
Bukti paling sederhana dari paham sekularisme ini tampak dalam keseluruhan wacana
HAM yang memandang manusia dalam kacamata sekularisme dan agama tidak dapat
didefinisikan sebagai tatanan yang mengikat masyarakat, negara, atau hubungan
internasional. Hukum-hukum dipandang sekuler, independen dari otoritas
tertentu. Paham seperti ini dapat kita lihat pada pasal 18 (Deklarasi HAM PBB)
yang menyatakan bahwa kompetisi yang dimiliki agama di dunia benar-benar hanya
terletak pada pilihan bebas seseorang, dan pada keputusan keluarga (pasal 26 :
3) serta pilihan orang tua mengenai pendidikan anak-anak mereka. Tetapi agama
tidak punya kompetensi apa-apa terhadap hukum karena hukum harus ditegakkan
secara pukul rata, tanpa mempedulikan agama yang dianut atau tidak dianut seseorang. Gagasan HAM modern
ini tentu saja menjadi persoalan, terutama bagi mereka yang berkeyakinan bahwa
Islam bukan hanya akidah, melainkan juga syariah. Atau dalam pernyataan yang
lebih politis, Islam bukan hanya agama (din)
melainkan juga negara (dulah).
Sehingga tidak mengherankan bahwa terjadi berbagai macam persoalan karena perbedaan paham ini.
Kontroversi tentang hubungan islam dam HAM juga terkait dengan pertentangan antara
HAM dengan syariah Islam. Syariah Islam menawarkan sistem peraturan normatif
yang komprehensif dan dapat diterapkan secara politis, sementara HAM modern
menawarkan prinsip emansipatoris. Keteggangan antara dua aturan normatif ini
dapat kita lihat dalam hal kebebasan religius, dimana syariah Islam yang memiliki tradisi seperti pembatasan
adanya perkawinan antaragama dan pembatasan aturan kepemimpinan yang hanya
boleh dipimpin oleh orang yang beragama Islam. Selain masalah kebebasan
religius, kesetaraan gender juga menjadi masalah utama yan menimbulkan adanya
ketegangan, dimana syariah islam tradisional tidak mencakup kesetaraan hak antara laki-laki dan
perempuan.
Perdebatan dalam masalah hubungan Islam dan HAM juga tidak
lepas dari adanya konflik antara dunia Islam dan dunia Barat yang menimbulkan
adanya phobia Barat terhadap Islam pasca peledakan gedung WTC 11 September
2001. Disamping itu, Samuel Hungtington dalam bukunya Clash of Civilation
menjelaskan bahwa pasca Perang Dingin musuh Barat bukan lagi komunis tetapi
Islam. Kondisi ini memicu Barat skeptis tentang Islam. Dengan demikian, fakta
ini memperjelas mengapa negara-negara Barat yang selalu menjujung tinggi
nilai-nilai HAM sangat lambat beraksi dan cenderung tidak perduli
terhadap kasus genosida Muslim Rohingya di Myanmar. Akibatnya, Muslim Rohingya
yang menjadi minoritas akan menjadi target sasaran pembantaian, sebagaimana
yang terjadi 10 Juni 2012 terjadi Martial Law yang merupakan tragedi genosida
Muslim Rohingya.
Disisi lain, dunia Islam hingga kini masih mewarisi “luka”
dan trauma akibat imperialisme dan kolonialisme Barat yang cukup lama mereka
derita sehingga timbulah kecenderungan untuk melakukan perlawanan terhadap
Barat. Perlawanan ini mula-mula berlangsung pada level politik melalui gerakan
gerakan yang bertujuan untuk membentuk
negara-negara yang merdeka dan bebas dari kekuasaan Barat.Namun, setelah
negara-negara Islam memperoleh kemerdekaan, gerakan tersebut berubah arah dan
memasuki wilayah yang lebih luas, yaitu kebudayaan. Adanya faktor-faktor
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya ini menimbulkan pola konfliktual
antara Islam dengan Barat, sehingga pembicaraan tentang hubungan Islam dan HAM
seringkali diwarnai dengan berbagai pandangan yang kompleks dan bahkan berbeda
satu sama lain
Dari berbagai penjelasan yang dikemukakan di atas,
setidaknya ada beberapa catatan yang dapat dikemukankan. Pertama, penghormatan atas HAM adalah cita-cita luhur semua agama
manusia. Dengan demikian, bagaimanapun buruknya kinerja penegakan HAM di banyak
negara dan bagaimanapun rentannya nilai-nilai HAM untuk dimanipulasi,
nilai-nilai luhur HAM harus tetap dikumandangkan.
Nilai-nilai luhur HAM
sebenarnya bisa kita rasakan di dalam diri kita, hati kecil kita. Apapun agama,
ras, etnis dan kelompoknya, yang namanya perbuatan baik ya tetap baik. Semua
orang bisa merasakan sakit ketika kita dicubit, dan jika tahu sakit ya tidak
usah mencubit.
Kedua, paradigma yang tepat bagi hubungan
internasional dan khususnya antara islam dan Barat dewasa ini adalah pendekatan
dialogis, bukan konflik atau benturan. Di satu sisi, negara-negara Barat
semestinya tidak lagi memandang islam dalam posisi yang zero-sum opposition
terhadap nila-nilai dan peradabannya. Sedangkan di sisi yang lain, umat islam
juga seyogyanya tidak lagi terjebak dalam kecurigaan berlebihan dengan
menganggap segala sesuatu yang gencar didesakkan oleh Barat, termasuk di dalam
nya HAM, sebagai seperangkat nila-nilai Barat yang hendak diekspor dengan skala
global. Alih-alih, HAM merupakan konsensus lintas agama dan budaya dalam upaya
penegakan keadilan politik di tengah-tengah ancaman yang sangat nyata dewasa
ini, yakni kemungkinan eksploitasi kekuasaan negara dan pasar modern.
Adanya sikap saling menghargai dan kedewasaan bisa dijadikan
sebagai kunci suksesnya dialog antara Barat dengan Islam. Agama dan kebudayaan
yang terbentuk saat ini merupakan tradisi yang berasal dari nenek moyang kita,
yang diyakini kebenaraannya. Namun satu hal yang jelas, pada dasarnya kita
mempunyai tujuan yang sama, yaitu menjadi lebih dekat dengan Tuhan, hanya saja
caranya yang berbeda-beda. Seperti saat orang-orang ingin pergi ke Jakarta,
mereka bisa menggunakan kereta, taksi, kapal api, dan berbagai macam alat
transportasi yang lain. Selain itu, sikap saling menghargai dapat dilihat dari
kesediaan kita untuk menerima masukan yang positif dari orang lain, bahkan dari
mereka yang sangat berbeda dengan kita. Dengan adanya sikap mau menerima
masukan orang lain tersebut, diharapkan bisa tercipta suatu kondisi yang
kondusif dan lebih baik. Ketiga,
seraya menerima dan mengakui universalitas HAM dan membangun relasi
internasional yang lebih dialogis dan kooperatif, sikap kritis juga harus terus
dialamatkan kepada mereka yang mengaku sebagai pembela dan pahlawan HAM.
DAFTAR PUSTAKA
Malian, Sohirin, et
all. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia . UII Press :
Yogyakarta