Minggu, 18 November 2012

Budaya "Tampil"



Welcome back :D
Setelah sekian lama saya tidak menulis akhirnya saya kembali lagi untuk sedikit berbagi pengamalan mengenai budaya “tampil” yang mungkin sekarang banyak terjadi di sekitar kita, atau justru pada diri kita sendiri.

Budaya tampil saya rasa saat ini telah menjadi “tren” bagi sebagian besar kalangan. Mengapa tidak? Banyak hal yang bisa kita dapatkan dari adanya budaya tampil, misalnya saja popularitas, gengsi, pujian, dan lain sebagainya. Siapa sih orang yang tidak suka jika dia populer, memiliki derajat hidup yang dipandang tinggi oleh masyarakat, dan mendapatkan pujian? Saya yakin semua orang suka akan hal itu, termasuk saya pribadi. Namun, hal ini malah justru membuat kita mengabaikan esensi penting dari yang namanya suatu proses dan ketulusan.

Sedikit pengalaman pribadi ketika saya melayani anak-anak sekolah minggu di tempat tinggal saya, saya merasakan bagaimana kentalnya budaya “tampil” itu ada di sekitar kita. Suatu saat kami bersama dengan anak-anak sekolah minggu akan mengadakan acara di Yogyakarta. Saat semua pendamping mendengar hal itu, pendamping yang tadinya jarang atau bahkan tidak pernah hadir dalam kegiatan hari minggu biasa tiba-tiba hadir dan “seolah-olah” ikut sibuk mempersiapkan semuanya. Pada awalnya, mungkin itu hanya perasaan buruk saya, namun ternyata kejadian tersebut terulang setiap kali kami mengadakan acara besar. Mereka “seolah” mau menjadi yang pertama untuk mengurusi semua kebutuhan anak-anak, mulai dari konsumsi, akomodasi dll. Namun hal tersebut tidak saya temukan saat pendampingan anak-anak setiap hari minggu, dimana saat mereka bertugas mendampingi pasti mereka selalu mencari alasan dan pada akhirnya tidak mendampingi.

Melihat hal tersebut saya hanya bisa diam, mendengarkan dan hanya bisa membantu sesuai dengan kemampuan saya. Perdebatan-perdebatan mereka alami hingga pada akhirnya kami semua bisa berangkat ke Yogyakarta bersama-sama. Dalam perdebatan itu, saya merasakan bahwa disaat semua orang “pintar” berkumpul, yang ada hanyalah perasaan bahwa saya lebih berpengalaman atau pintar dibanding anda sehingga dalam hal ini pendapat saya lebih benar dari pada anda. Saat semua orang pintar berkumpul semua orang merasa bahwa dirinya paling dan paling, tidak ada sikap untuk mau saling mendengarkan. Sehingga hal ini tentu saja akan berimbas pada anak –anak yang masih polos dan harus kita bimbing dengan baik.

Dua hal yang menjadi pertanyaan saya. Mengapa mereka tidak bisa melakukan yang sama saat mereka mendampingi anak-anak di minggu-minggu biasa? Kemanakah pengalaman dan kepandaian yang mereka banggakan ketika mendampingi anak-anak saat ada kegiatan besar?

Dari pertanyaan tersebut saya mencoba menjawab dengan “pikiran negative” saya yakni, apa iya mereka “sok” repot saat ada acara besar itu karena ingin dipandang oleh orang lain, ingin dipuji oleh orang lain, ingin dianggap bahwa mereka hebat atau mereka adalah orang yang berpengaruh? *dibaca efek dari budaya tampil. Saya tidak tahu apakah jawaban ini benar atau salah, namun yang jelas saya meyadari bahwa banyak orang di sekitar kita atau bahkan kita sendiri yang enggan untuk konsisten dalam perkara yang simpel dan sederhana, namun mereka lebih memilih untuk “ada” dan direpotkan dalam perkara yang besar.



-dam- 

Rabu, 17 Oktober 2012

PELANGGARAN HAM BERAT GENOSIDA


Seiring dengan menguatnya kesadaran global akan arti penting HAM, persoalan tentang universalitas HAM dan hubungannya dengan berbagai sistem nilai atau tradisi agama terus menjadi pusat perhatian dan perbincangan dalam wacana HAM kontemporer. Disatu sisi, secara normatif agama memberikan landasan yan sangat kuat bahwa setiap manusia mempunyai hak-hak yang tak tersangkal (inealieble) dan setara, yang mana kesetaraan ini berakar dari konsep agama yang menyatakan bahwa semua manusia berasal dari sumber yang sama. Namun disisi lain, terdapat banyak bukti yang justru menunjukkan adanya pelanggaran HAM yang melegitimasi agama, seperti perbudakan, kekerasan, diskriminasi, dan berbagai bentuk pelanggaran lainnya.

Tanpa mengabaikan ramainya perbincangan tentang hubungan antara agama-agama lain dengan HAM, dapat dikatakan bahwa persoalan tentang hubungan Islam dan HAM tampaknya menjadi topik utama dalam  masalah Internasional. Seperti yang dapat kita lihat pada konflik yang terjadi di Myanmar semenjak tanggal 10 s/d 28 Juni 2012 lalu, sedikitnya 650 warga etnis Rohingya tewas, sekitar 1200 warganya dinyatakan hilang dan 50 ribu warganya kehilangan tempat tingal (repubika.co.id). Konflik yang terjadi di Myanmar ini merupakan salah satu bentuk kejahatan manusia karena perbuatan ini dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil (Statuta Roma pasal 7). 

Realitas ini juga menunjukan bahwa pembantaian Muslim Rohingya bukan hanya bentuk kejahatan manusia yang tergolong ringan, namun sudah mengarah pada genosida. Istilah genosida dalam hukum internasional mengacu pada kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang, terkait dengan tragedi perang dunia II. Pelanggaran tersebut kemudian  melahirkan peradilan ad hoc Internasional tahun 1946 di Nurember, yang menetapkan bahwa tentara-tentara Nazi dan Adolf Hitler harus dikenai sanksi hukum. Implikasi hukum dari adanya peradilan ini adalah penetapan peradilan bagi individu yang terlibat dalam kejahatan kemanusiaan, bukan hanya negara yang bersangkutan.

Secara yuridis, genosida didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dimaksudkan untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, etnis, atau agama yang tertuang dalam Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan Genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide) pafa tahun 1948.Menurut hukum tersebut, kejahatan genosida mencakup lima hal penting yaitu :
·         Membunuh anggota suatu kelompok
·         Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental berat terhadap anggota suatu kelompok
·         Menciptakan keadaan kehidupan yang bertujuan untuk memusnahkan secara fisik, baik seluruh maupun sebagian anggota dari suatu kelompok
·         Memaksakan cara-cara yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok tersebut
·         Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Konflik yang terjadi di Myanmar ini disebabkan oleh adanya politik Xenofobia yang diterapkan Pemerintah Myanmar pasca jatuhnya Un Nu yang digantikan Jendra Ne Win 1962. Arti dari kata Xenofobia yang berasal dari bahasa Yuniani ini adalah suatu ketakutan yang tidak wajar terhadap orang asing atau dengan segala sesuatu yang asing. Politik Xenofobia yang diterapkan  oleh Pemerintah Myanmar ini tidak mengakui keberadaan Muslim Rohingya bagian dari warga negara Myanmar, sehingga selama 50 tahun Muslim Rohingya mengalami serangkaian pembantaian, pembakaran, penjarahan, pembatasan kelahiran, dan penangkapan yang berangsung secara massif menyebabkan eksodus besar-besaran setiap tahunnya. Ironisnya, pemerintah Myanmar cenderung melakukan pembiaran dan reaksi masyarakat internasional yang menganggap bahwa Muslim Rohingya merupakan masalah dalam negeri Myanmar, menyebabkan lembaga-lembaga internasional seperti: PBB dan ASEAN tidak mampu menghentikan diskriminasi yang dialami Muslim Rohingya.

Sementara itu pertemuan yang diadakan oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dengan Presiden Myanmar untuk membicarakan reformasi politikpun tidak menyentuh warga Musim Rohingya yang selama ini mengalami diskriminasi oleh Pemerintah Myanmar. Reaksi masyarakat internasional terhadap genosida pada Muslim Rohingyapun sangat lambat bahkan cendrung terjadi pembiaran. Dimana, lembaga-lembaga internasional dan negara-negara yang selama ini mengagung-agungkan HAM dalam hubungan luar negerinya tidak memberikan tekanan politik dan ekonomi kepada Pemerintah Myanmar yang memiliki otoritas tertingi dalam melindungi warga negaranya. Sehingga, pembantaian terhadap Muslim Rohingya terus menerus berlangsung selama bertahun-tahun.

Menurut Malian, Sohirin, et all (2003 : 85-88) diskriminasi yang dialami Muslim Rohingya serta sengitnya perbincangan dan kontroversi dalam persoalan hubungan Islam dan HAM tidak terlepas dari konotasi HAM dan makna kongkretnya dalam Deklarasi HAM PBB, diakui atau tidak didasarkan pada asumsi yang mengarah pada paham sekularisme. Bukti paling sederhana dari paham sekularisme ini tampak dalam keseluruhan wacana HAM yang memandang manusia dalam kacamata sekularisme dan agama tidak dapat didefinisikan sebagai tatanan yang mengikat masyarakat, negara, atau hubungan internasional. Hukum-hukum dipandang sekuler, independen dari otoritas tertentu. Paham seperti ini dapat kita lihat pada pasal 18 (Deklarasi HAM PBB) yang menyatakan bahwa kompetisi yang dimiliki agama di dunia benar-benar hanya terletak pada pilihan bebas seseorang, dan pada keputusan keluarga (pasal 26 : 3) serta pilihan orang tua mengenai pendidikan anak-anak mereka. Tetapi agama tidak punya kompetensi apa-apa terhadap hukum karena hukum harus ditegakkan secara pukul rata, tanpa mempedulikan agama yang dianut atau  tidak dianut seseorang. Gagasan HAM modern ini tentu saja menjadi persoalan, terutama bagi mereka yang berkeyakinan bahwa Islam bukan hanya akidah, melainkan juga syariah. Atau dalam pernyataan yang lebih politis, Islam bukan hanya agama (din) melainkan juga negara (dulah). Sehingga tidak mengherankan bahwa terjadi berbagai macam persoalan  karena perbedaan paham ini.

Kontroversi tentang hubungan islam dam  HAM juga terkait dengan pertentangan antara HAM dengan syariah Islam. Syariah Islam menawarkan sistem peraturan normatif yang komprehensif dan dapat diterapkan secara politis, sementara HAM modern menawarkan prinsip emansipatoris. Keteggangan antara dua aturan normatif ini dapat kita lihat dalam hal kebebasan religius, dimana syariah Islam  yang memiliki tradisi seperti pembatasan adanya perkawinan antaragama dan pembatasan aturan kepemimpinan yang hanya boleh dipimpin oleh orang yang beragama Islam. Selain masalah kebebasan religius, kesetaraan gender juga menjadi masalah utama yan menimbulkan adanya ketegangan, dimana syariah islam tradisional tidak  mencakup kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan.

Perdebatan dalam masalah hubungan Islam dan HAM juga tidak lepas dari adanya konflik antara dunia Islam dan dunia Barat yang menimbulkan adanya phobia Barat terhadap Islam pasca peledakan gedung WTC 11 September 2001. Disamping itu, Samuel Hungtington dalam bukunya Clash of Civilation menjelaskan bahwa pasca Perang Dingin musuh Barat bukan lagi komunis tetapi Islam. Kondisi ini memicu Barat skeptis tentang Islam. Dengan demikian, fakta ini memperjelas mengapa negara-negara Barat yang selalu menjujung tinggi nilai-nilai  HAM sangat lambat beraksi dan cenderung tidak perduli terhadap kasus genosida Muslim Rohingya di Myanmar. Akibatnya, Muslim Rohingya yang menjadi minoritas akan menjadi target sasaran pembantaian, sebagaimana yang terjadi 10 Juni 2012 terjadi Martial Law yang merupakan tragedi genosida Muslim Rohingya.

Disisi lain, dunia Islam hingga kini masih mewarisi “luka” dan trauma akibat imperialisme dan kolonialisme Barat yang cukup lama mereka derita sehingga timbulah kecenderungan untuk melakukan perlawanan terhadap Barat. Perlawanan ini mula-mula berlangsung pada level politik melalui gerakan gerakan yang bertujuan untuk membentuk  negara-negara yang merdeka dan bebas dari kekuasaan Barat.Namun, setelah negara-negara Islam memperoleh kemerdekaan, gerakan tersebut berubah arah dan memasuki wilayah yang lebih luas, yaitu kebudayaan. Adanya faktor-faktor seperti yang telah dijelaskan sebelumnya ini menimbulkan pola konfliktual antara Islam dengan Barat, sehingga pembicaraan tentang hubungan Islam dan HAM seringkali diwarnai dengan berbagai pandangan yang kompleks dan bahkan berbeda satu sama lain

Dari berbagai penjelasan yang dikemukakan di atas, setidaknya ada beberapa catatan yang dapat dikemukankan. Pertama, penghormatan atas HAM adalah cita-cita luhur semua agama manusia. Dengan demikian, bagaimanapun buruknya kinerja penegakan HAM di banyak negara dan bagaimanapun rentannya nilai-nilai HAM untuk dimanipulasi, nilai-nilai luhur HAM harus tetap dikumandangkan. 
Nilai-nilai luhur HAM sebenarnya bisa kita rasakan di dalam diri kita, hati kecil kita. Apapun agama, ras, etnis dan kelompoknya, yang namanya perbuatan baik ya tetap baik. Semua orang bisa merasakan sakit ketika kita dicubit, dan jika tahu sakit ya tidak usah mencubit.

Kedua, paradigma yang tepat bagi hubungan internasional dan khususnya antara islam dan Barat dewasa ini adalah pendekatan dialogis, bukan konflik atau benturan. Di satu sisi, negara-negara Barat semestinya tidak lagi memandang islam dalam posisi yang zerosum opposition terhadap nila-nilai dan peradabannya. Sedangkan di sisi yang lain, umat islam juga seyogyanya tidak lagi terjebak dalam kecurigaan berlebihan dengan menganggap segala sesuatu yang gencar didesakkan oleh Barat, termasuk di dalam nya HAM, sebagai seperangkat nila-nilai Barat yang hendak diekspor dengan skala global. Alih-alih, HAM merupakan konsensus lintas agama dan budaya dalam upaya penegakan keadilan politik di tengah-tengah ancaman yang sangat nyata dewasa ini, yakni kemungkinan eksploitasi kekuasaan negara dan pasar modern.

Adanya sikap saling menghargai dan kedewasaan bisa dijadikan sebagai kunci suksesnya dialog antara Barat dengan Islam. Agama dan kebudayaan yang terbentuk saat ini merupakan tradisi yang berasal dari nenek moyang kita, yang diyakini kebenaraannya. Namun satu hal yang jelas, pada dasarnya kita mempunyai tujuan yang sama, yaitu menjadi lebih dekat dengan Tuhan, hanya saja caranya yang berbeda-beda. Seperti saat orang-orang ingin pergi ke Jakarta, mereka bisa menggunakan kereta, taksi, kapal api, dan berbagai macam alat transportasi yang lain. Selain itu, sikap saling menghargai dapat dilihat dari kesediaan kita untuk menerima masukan yang positif dari orang lain, bahkan dari mereka yang sangat berbeda dengan kita. Dengan adanya sikap mau menerima masukan orang lain tersebut, diharapkan bisa tercipta suatu kondisi yang kondusif dan lebih baik. Ketiga, seraya menerima dan mengakui universalitas HAM dan membangun relasi internasional yang lebih dialogis dan kooperatif, sikap kritis juga harus terus dialamatkan kepada mereka yang mengaku sebagai pembela dan pahlawan HAM.

DAFTAR PUSTAKA
Malian, Sohirin, et all. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia . UII Press : Yogyakarta

Jumat, 29 Juni 2012

Rasa Sayang yang tidak Tersampaikan


Beberapa tahun belakangan, saya beberapa kali mendengar kalimat : “Seringkali orang tua tidak tahu cara membimbing anaknya dengan baik sehingga tanpa mereka sadari mereka telah memberikan luka batin bagi anak-anaknya”. Sewaktu SMP, saya tidak terlalu paham dan mengerti maksud dari kalimat yang cukup sering saya dengar itu, hingga pada akhirnya saya merasakan yang dinamakan dengan luka batin karena orang tusaya.


Luka batin ini diawali saat saya masuk SMA, dimana saat itu saya mendaftar di SMA PL Vanlith Muntilan. Pada saat saya mendaftar di SMA Vanlith Muntilan dan mengikuti test disana, ternyata saya dinyatakan tidak lolos. Setelah itu saya segera mendaftar di salah satu SMA swasta yang cukup baik di Semarang (SMA Sedes Sapienteae Semarang) hingga akhirnya diterima di SMA tersebut. Selang beberapa waktu setelah pengumuman hasil UAN saya mencoba untuk mendaftar di salah satu SMA Negeri 3 Semarang, namun dengan tetap menyertakan SMA Negeri 4 Semarang sebagai cadangan. Kemudian saya mengumpulkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk masuk ke SMA tersebut dan sembari menunggu hasilnya, saya memutuskan untuk berlibur di Purbalingga. Pada malam sebelum saya berangkat ke Purbalingga, saya berkata kepada bapak dan ibu “Pak, Bu, kalau saya ga ketrima di SMA N 3 saya mau sekolah di SMA Sedes Sapienteae saja”. Bapak dan ibu kemudian bertanya kenapa saya mengambil keputusan seperti itu dan saya menjawab : “Dulu waktu kelas 1 dan 2 SMP saya sekolah di SMP Negeri dan prestasiku ternyata semakin menurun. Tapi semenjak saya pindah di SMP swasta waktu kelas 3 SMP ternyata prestasiku bisa meningkat dengan tajam”. Setelah itu saya terdiam beberapa saat dan berkata lagi : “Saya cuma  butuh guru yang telaten dan sabar”.


Keesokan harinya saya berangkat ke Purbalingga untuk liburan disana selama 2 minggu dan menginap dirumah tanteku. Pada hari ke 3 liburanku di Purbalingga saya mendapat sms bahwa saya diterima di SMA N 4. Setelah itu saya langsung menghubungi bapak dan ibu via telp untuk mengatakan bahwa kenapa seperti ini jadinya. Dari awal saya sudah berkata bahwa kalau saya tidak diterima di SMA N 3 saya ingin sekolah di SMA Sedes saja. Tetapi orang tusaya kekeuh dengan pilihannya dan tetap menyuruhku masuk SMA N 4 karena mereka beranggapan bahwa dengan masuk SMA negeri saya bisa lebih mudah masuk PTN. Mereka juga sampai meminta tolong pakdhe budheku yang ada disana untuk membujukku supaya saya mau masuk ke SMA Negeri. Setelah pakdhe budheku pulang dari rumah tanteku, saya masuk ke kamar dan menangis. Tanteku masuk ke kamar untuk menghiburku dan saya hanya menangis sambil berbicara padanya : “ Walaupun saya belum dewasa, tapi saya tahu bagaimana kapasitasku dan saya juga bisa membedakan guru seperti apa yang bisa meng-handle saya. Tapi kenapa bapak dan ibu tidak mau mengerti dan tetap memaksakan kehendak mereka?”. Akhirnya setelah kejadian itu saya masuk ke SMA N 4 Semarang dan seperti yang saya kira sekolah 3 tahun rasanya seperti membuang waktu dan tenaga karena saya tidak mendapatkan apa-apa. Setiap penerimaan rapot saya hampir selalu dimarahin bapak karena nilaiku yang jelek. Saya bukannya tidak berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kondisi sekolah, tapi saya sudah berusaha dan hasilnya gagal.

Waktu berlalu begitu saja hingga pada akhirnya saya dapat lulus dari SMA dan berniat melanjutkan ke salah satu PTN di Surakarta. Saat saya lulus SMA dan mencari Perguruan Tinggi, kebetulan adikku juga sedang mencari SMA dan dia memilih untuk bersekolah di Surakarta. Pada saat itu muncul rasa iri hati dalam diriku karena saya merasa beliau begitu mendukung adikku untuk bersekolah di Surakarta dengan bidang yang dia inginkan (Teknik Mesin) sementara cita-cita ku dan keinginanku kuliah di luar kota kurang didukung.  Akhirnya adikku berhasil masuk di sekolah yang dia inginkan dan anggapan orang tusaya yang menyatakan bahwa jika kamu masuk SMA Negeri akan lebih mudah masuk PTN tidak terbukti. Pada akhirnya masuk di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang dengan jurusan teknologi pangan. Pada saat saya mendaftar di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, saya kembali mengalami luka yang sama karena bapakku memakssaya untuk mengambil pilihan kedua “Ilmu Komputer” padahal saya tidak suka berkutat dengan komputer. Sampai saat ini saya masih tetap kuliah di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang dengan jurusan teknologi pangan, walaupun tidak sesuai dengan passionku.

Saya telah memaafkan orang tua saya dan dari pengalaman ini saya mengambil makna :


Saya percaya setiap bahwa orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya, namun apa yang terbaik menurut orang tua belum tentu merupakan hal yang terbaik untuk anaknya. Saya percaya bahwa semua orang tua pasti sudah banyak makan asam garam kehidupan. Tetapi jaman terus berubah, dibutuhkan suatu KOMUNIKASI DUA ARAH antara orang tua dan anak. Anak itu bukanlah OBYEK tetapi mereka adalah SUBYEK yang dititipkan oleh Tuhan.


Mungkin anda BUKAN merupakan salah satu tipe orang tua yang secara tidak sadar pernah memberikan luka batin bagi anak anda, namun dengan adanya tulisan ini saya berharap kita bisa lebih peka pada kenyataan yang memang ada di masyarakat. Tulisan ini saya buat hanya untuk sekedar sharing dan khusus dedikasikan untuk semua orang tua yang menyayangi anaknya.


-dam-