Beberapa tahun belakangan, saya beberapa kali mendengar
kalimat : “Seringkali orang tua tidak tahu cara membimbing anaknya dengan baik
sehingga tanpa mereka sadari mereka telah memberikan luka batin bagi
anak-anaknya”. Sewaktu SMP, saya tidak terlalu paham dan mengerti maksud dari
kalimat yang cukup sering saya dengar itu, hingga pada akhirnya saya merasakan
yang dinamakan dengan luka batin karena orang tusaya.
Luka batin ini diawali saat saya
masuk SMA, dimana saat itu saya mendaftar di SMA PL Vanlith Muntilan. Pada saat
saya mendaftar di SMA Vanlith Muntilan dan mengikuti test disana, ternyata saya
dinyatakan tidak lolos. Setelah itu saya segera mendaftar di salah satu SMA
swasta yang cukup baik di Semarang (SMA Sedes Sapienteae Semarang) hingga akhirnya
diterima di SMA tersebut. Selang beberapa waktu setelah pengumuman hasil UAN
saya mencoba untuk mendaftar di salah satu SMA Negeri 3 Semarang, namun dengan
tetap menyertakan SMA Negeri 4 Semarang sebagai cadangan. Kemudian saya
mengumpulkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk masuk ke SMA tersebut dan
sembari menunggu hasilnya, saya memutuskan untuk berlibur di Purbalingga. Pada
malam sebelum saya berangkat ke Purbalingga, saya berkata kepada bapak dan ibu
“Pak, Bu, kalau saya ga ketrima di SMA N 3 saya mau sekolah di SMA Sedes
Sapienteae saja”. Bapak dan ibu kemudian bertanya kenapa saya mengambil
keputusan seperti itu dan saya menjawab : “Dulu waktu kelas 1 dan 2 SMP saya
sekolah di SMP Negeri dan prestasiku ternyata semakin menurun. Tapi semenjak saya
pindah di SMP swasta waktu kelas 3 SMP ternyata prestasiku bisa meningkat
dengan tajam”. Setelah itu saya terdiam beberapa saat dan berkata lagi : “Saya
cuma butuh guru yang telaten dan sabar”.
Keesokan harinya saya berangkat ke
Purbalingga untuk liburan disana selama 2 minggu dan menginap dirumah tanteku.
Pada hari ke 3 liburanku di Purbalingga saya mendapat sms bahwa saya diterima
di SMA N 4. Setelah itu saya langsung menghubungi bapak dan ibu via telp untuk
mengatakan bahwa kenapa seperti ini jadinya. Dari awal saya sudah berkata bahwa
kalau saya tidak diterima di SMA N 3 saya ingin sekolah di SMA Sedes saja.
Tetapi orang tusaya kekeuh dengan pilihannya dan tetap menyuruhku masuk SMA N 4
karena mereka beranggapan bahwa dengan masuk SMA negeri saya bisa lebih mudah
masuk PTN. Mereka juga sampai meminta tolong pakdhe budheku yang ada disana
untuk membujukku supaya saya mau masuk ke SMA Negeri. Setelah pakdhe budheku
pulang dari rumah tanteku, saya masuk ke kamar dan menangis. Tanteku masuk ke
kamar untuk menghiburku dan saya hanya menangis sambil berbicara padanya : “
Walaupun saya belum dewasa, tapi saya tahu bagaimana kapasitasku dan saya juga
bisa membedakan guru seperti apa yang bisa meng-handle saya. Tapi kenapa bapak dan ibu tidak
mau mengerti dan tetap memaksakan kehendak mereka?”. Akhirnya setelah kejadian
itu saya masuk ke SMA N 4 Semarang dan seperti yang saya kira sekolah 3 tahun
rasanya seperti membuang waktu dan tenaga karena saya tidak mendapatkan
apa-apa. Setiap penerimaan rapot saya hampir selalu dimarahin bapak karena
nilaiku yang jelek. Saya bukannya tidak berusaha untuk menyesuaikan diri dengan
kondisi sekolah, tapi saya sudah berusaha dan hasilnya gagal.
Waktu berlalu begitu saja hingga
pada akhirnya saya dapat lulus dari SMA dan berniat melanjutkan ke salah satu
PTN di Surakarta. Saat saya lulus SMA dan mencari Perguruan Tinggi, kebetulan
adikku juga sedang mencari SMA dan dia memilih untuk bersekolah di Surakarta.
Pada saat itu muncul rasa iri hati dalam diriku karena saya merasa beliau
begitu mendukung adikku untuk bersekolah di Surakarta dengan bidang yang dia
inginkan (Teknik Mesin) sementara cita-cita ku dan keinginanku kuliah di luar
kota kurang didukung. Akhirnya adikku berhasil masuk di sekolah yang dia
inginkan dan anggapan orang tusaya yang
menyatakan bahwa jika kamu masuk SMA Negeri akan lebih mudah masuk PTN
tidak terbukti. Pada akhirnya masuk di Universitas Katolik Soegijapranata
Semarang dengan jurusan teknologi pangan. Pada saat saya mendaftar di
Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, saya kembali mengalami luka yang
sama karena bapakku memakssaya untuk mengambil pilihan kedua “Ilmu Komputer”
padahal saya tidak suka berkutat dengan komputer. Sampai saat ini saya masih
tetap kuliah di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang dengan jurusan
teknologi pangan, walaupun tidak sesuai dengan passionku.
Saya telah memaafkan orang tua saya
dan dari pengalaman ini saya mengambil makna :
Saya percaya setiap bahwa orang tua
menginginkan yang terbaik untuk anaknya, namun apa yang terbaik menurut orang
tua belum tentu merupakan hal yang terbaik untuk anaknya. Saya percaya bahwa
semua orang tua pasti sudah banyak makan asam garam kehidupan. Tetapi jaman
terus berubah, dibutuhkan suatu KOMUNIKASI DUA ARAH antara orang tua dan anak.
Anak itu bukanlah OBYEK tetapi mereka adalah SUBYEK yang dititipkan oleh Tuhan.
Mungkin anda BUKAN merupakan salah
satu tipe orang tua yang secara tidak sadar pernah memberikan luka batin bagi
anak anda, namun dengan adanya tulisan ini saya berharap kita bisa lebih peka
pada kenyataan yang memang ada di masyarakat. Tulisan ini saya buat hanya untuk
sekedar sharing dan khusus dedikasikan untuk semua orang tua yang menyayangi
anaknya.
-dam-