Selasa, 12 November 2013

Ketika Belajar adalah Suatu Bentuk Aktualisasi Diri


Dedicated for my beloved HASP
  
Menurut saya secara pribadi, bekerja itu adalah suatu proses pembelajaran tiada henti dan inilah yang saya maksudkan dengan aktualisasi diri. Entah apapun pekerjaannya, jika saya menganggap pekerjaan itu sebagai media pembelajaran maka saya akan mencoba untuk belajar lebih dan lebih.  Namun ketika saya gagal, maka saya akan kembali lagi mencobanya karena wajar saja saya gagal “lha wong namanya orang belajar pasti ada gagalnya”. Sama kaya orang belajar naik sepeda, pasti pernah jatuh juga.  Jika orang itu mau bisa naik sepeda dengan baik yaa harus bangkit lagi untuk kembali belajar menaiki sepeda.
Nilai ini tampaknya saya yakini benar karena semua pekerjaan sambilan yang saya kerjakan selalu saya dasarkan pada nilai-nilai tersebut. Ketika saya menjadi tutor les, staff administrasi, pelayan di sebuah cafĂ© hingga seorang marketingpun saya menganggapnya adalah suatu proses pembelajaran. Proses pembelajaran ini bagi saya bukan hanya sekedar belajar untuk mendapatkan uang sendiri, namun lebih daripada itu. Saya belajar untuk melakukan apapun yang saya bisa, walaupun itu tidak sesuai dengan job desc saya. Mungkin ketika saya mau untuk melakukan apapun, anda akan berpikir bahwa saya adalah orang yang gampang  “disuruh-suruh”. Padahal tidak! Saya beranggapan bahwa dengan mau mencoba untuk melakukan apapun, maka saya akan menjadi pribadi yang mempunyai nilai lebih. Kemampuan sayapun akan meningkat ketika saya mampu untuk menyelesaikan banyak tantangan. Entah itu menyelesaikan tantangan pekerjaan, kemampuan berkomunikasi, hingga kemampuan untuk menghadapi orang lain dengan bermacam-macam jenisnya. Jadi tidak salah kan jika kita mau untuk melakukan hal apapun selagi bisa? Dan tentusaja tidak hanya terbatas pada bidang yang kita tekuni.

“TAKE RISK”
IF YOU WIN, YOU WILL HAPPY
IF YOU LOSE, YOU WILL BE WISE

Bekerja bagi saya bukan semata-mata karena uang, tetapi adalah proses belajar. Saya tidak pernah menuntut untuk digaji sekian dan justru saya malu ketika saya dibayar namun saya tidak dapat menyelesaikan tugas dengan baik. Misalnya saja seperti ini: ketika saya menjadi seorang tutor les, saya sadar betul bahwa setiap anak itu unik dan berbeda. Saya tidak bisa memaksakan cara belajar saya kepada anak tersebut, yang ada justru saya yang menyesuaikan cara mengajar saya dengan anak tersebut. Ketika cara yang saya tempuh tidak bisa membuat si anak tersebut menjadi lebih baik, saya akan berusaha mencari metode pengajaran yang lain agar dia bisa lebih baik lagi. Sayapun rela tidak dibayar ketika saya gagal. Ini adalah prinsip karena bagi saya yang terpenting adalah bagaimana si anak bisa belajar dengan baik.

Lebih lanjut lagi bahwa dalam proses aktualisasi diri ini saya belajar untuk mengendalikan emosi. Saya sadar betul bahwa emosi memainkan peranan utama di dalam kehidupan bermasyarakat. Ketika kita tidak mampu mengelola emosi kita dengan baik, lihat apa yang akan terjadi! Masalah menjadi semakin rumit, hubungan pertemanan menjadi hancur dan yang terpenting adalah tujuan kita tidak akan pernah tercapai. Lebih mudah memang bagi seseorang untuk melampiaskan emosi secara membabi buta, namun sulit bagi mereka untuk melampiaskan emosi secara elegan. Sebenarnya kalau kita telisik lebih lanjut, apa untungnya sih kalau kita melampiaskan emosi secara membabi buta? Jika lebih banyak untungnya daripada ruginya, boleh lah kita melampiaskan emosi dengan membabi buta. Namun jika lebih banyak ruginya, buat apa?

Keebetulan kemarin saya melihat sebuah film dimana dua orang wanita paruh baya yang sampai saling menabrakkan mobilnya hanya karena mereka tidak bisa mengelola emosinya dengan baik. Sebabnya cukup simpel. Hanya karena awalnya salah satu dari mereka tidak sengaja membuka pintu terlalu lebar sehingga pintu mobilnya tidak sengaja mengenai pintu mobil wanita yang lain. Lihat! Bagaimana emosi bisa menghancurkan semuanya, padahal awalnya masalahnya hanya sepele. Kalau sudah seperti ini, apakah masih berniat untuk melampiaskan emosi secara membabi buta? Tidak mudah memang untuk mengelola emosi dengan baik, namun ketika kita tidak mau untuk terus mencobanya yaa kita tidak akan bisa. –dam-
                                                                                                                                            
                                                                                                                                        

Sabtu, 09 Februari 2013

Just follow your chaste heart


Beberapa waktu yang lalu, saya memanfaatkan waktu luang saya untu membuka salah satu akun jejaring sosial yang saya miliki. Pada awalnya, saya hanya berniat untuk melihat-lihat postingan yang dibuat oleh teman-teman saya. Namun, perhatian saya tiba-tiba tertuju pada sebuah postingan yang bertuliskan “Just follow your heart”. Melihat tulisan itu saya kemudian teringat kembali dengan kejadian yang pernah terjadi beberapa waktu yang lalu.


Kejadian itu berawal dari diadakannya rapat OMK pada hari sabtu yang lalu. Dalam rapat tersebut, kami diharuskan untuk membahas tentang rencana kerja kami selama setahun ke depan. Rencana kerja kami untuk setahun ke depan diawali dengan mengadakan Misa pelajar pada bulan februari ini. Pada awalnya kami tidak menemukan adanya perdebatan berarti pada saat kami menentukan susunan kepanitiaan Misa pelajar dan jadwal petugas pengisi Misa pelajar. Namun situasi kemudian menjadi berubah ketika ada salah satu teman kami yang mengusulkan untuk mengadakan acara kumpul-kumpul dan makan-makan seusai Misa. Dalam usulannya dia mengatakan bahwa untuk menarik banyak masa, kami dapat mengajak teman-teman yang lain untuk berkumpul, makan makan, dan senang-senang seusai Misa. “Yang penting kumpul dan seneng-seneng dulu” katanya. Saya terus terang merasa tidak setuju dengan ide dan gagasan tersebut karena kita seolah melakukan sesuatu yang tidak jelas arahnya *padahal ini masih berada di dalam lingkup Gereja. Saya merasa bahwa alangkah lebih baik jika kegiatan berkumpul dan bersenang-senang itu dilakukan diluar lingkup Gereja.


Saya yang tidak setuju dengan ide dan gagasan tersebut kemudian mengungkapkan gagasan yang lain. Dalam gagasan tersebut, saya mengemukakan bahwa bagaimana jika kami membuat Misa yang menarik sehingga membuat teman-teman yang lain menjadi tertarik untuk datang. Saya juga memberi contoh seperti menyelipkan drama sebelum romo memberikan homili, atau membuat mini games dengan menempatkan romo sebagai pemimpin games tersebut. Namun hal tersebut tentusaja tetap harus dikomunikasikan dengan Romo sebelumnya, agar apa yang kami lakukan tidak menyimpang dari pokok-pokok ekaristi.  Selain itu saya juga berharap dengan adanya drama atau mini games tersebut, kita bisa lebih mudah untuk mengerti apa yang disampaikan dalam Kitab Suci.


Gagasan saya ini langsung saja mendapatkan tanggapan negatif dari teman-teman OMK yang lain. Salah seorang teman *yang kebetulan ketua panitia langsung menyatakan ketidak setujuannya pada gagasan saya dan  mengatakan bahwa ia menginginkan Misa yang benar-benar seperti Misa minggu biasa. Teman yang lain pun menambahkan bahwa adanya drama atau mini games tersebut akan membuat konsentrasi dari teman-teman yang mengikuti Misa akan terpecah. Selain itu dia juga mengatakan bahwa jika kami membuat drama/mini games di tengah Misa, dikhawatirkan kami akan terbawa oleh ajaran agama lain. Mendengar ungkapan dan ketidak setujuan dari teman-teman OMK yang lain saya haya diam dan hanya berkata di dalam hati bahwa gagasan yang saya sampaikan mungkin kurang tepat dan baik.


Selang beberapa hari berlalu, saya akhirnya berkonsultasi dengan ibu saya mengenai masalah tersebut. Ibu saya yang kebetulan adalah guru agama itu hanya menyampaikan bahwa jika memang tujuannya untuk mempermudah kami dalam menyampaikan pesan yang ada di Kitab Suci kepada teman-teman yang lain, tentu saja diperbolehkan. Namun dengan catatan bahwa hal tersebut harus dikomunikasikan sebelumnya dengan Romo sebagai pemimpin Misa. Hal tersebut tentu saja akan menjadi lebih baik daripada kita melakukan sesuatu yang tidak jelas arahnya. Lebih lanjut, saya juga semakin menyadari bahwa ajaran agama yang saya anut itu luwes dan bersifat terbuka pada hal-hal yang dirasa baik *namun tetap harus sesuai dengan tatanan yang ada.  Saya juga merasakan bahwa ajaran agama yang saya anut itu tidak takut terbawa oleh ajaran agama yang lain, karena sifatnya yang unik dan khas.


Dari permasalahan tersebut saya hanya merasakan bahwa betapa sulitnya bagi kita untuk mengikuti hati kita. Mengapa tidak? Dimanapun kita berada, kita pasti akan selalu menemukan orang yang tidak sepaham dengan kita karena kita memang diciptakan unik dan berbeda. Sikap untuk mengikuti suara hati kita ini akan semakin sulit lagi apabila apa yang dikatakan oleh hati kita itu terkesan “berbeda” dengan pendapat dan pola pikir teman-teman yang sepemikiran, padahal apa yang berbeda itu belum tentu salah.  Sikap manusia yang terlalu cepat menyanggah *dibaca berpikiran tertutup terhadap sesuatu yang dinilai berbeda pun juga akan semakin menyulitkan kita untuk dapat menyuarakan dan mengikuti hati kita. 


Namun kita tidak perlu kawatir untuk tetap mengikuti suara hati kita, selama itu benar. Selain itu, kita pun juga harus tetap menjaga suara hati kita dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik agar suara hati kita tetap murni dan  benar. 

Bangkitlah! Gunakan hati dan otakmu! - Rm Suma-



-dam-